REVISI UU NO 13 tahun 2003 oleh SBY hanya untuk kepentingan Pengusaha

09/02/2009 18:45

Misi Gelap Draf Revisi

KONTROVERSI luas revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan yang menggelora dua pekan terakhir mendadak senyap di kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Jumat siang lalu. Padahal, tiga kubu yang "berseteru" tengah bertemu di lantai I Wisma Negara: pemerintah, pekerja, dan pengusaha. Terasa kontras dengan ingar-bingar dua hari sebelumnya, ketika jalanan di Jakarta disesaki ribuan buruh. Mereka menggugat niat pemerintah merevisi aturan perburuhan itu.

"Tak ada saling tuding, santai diselingi tawa," ujar Arief Poyuono, Ketua Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu, menjelaskan suasana rapat. "Pak Muchtar Pakpahan tak sampai berantem dengan Pak Benny Sutrisno," Arief berseloroh. Muchtar adalah Ketua Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI), sedangkan Benny Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API). "Pertemuan ini luar biasa, akhirnya kami sepakat duduk bersama," kata Hasanuddin Rahman, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo).

Alur perdebatan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 yang sudah memanas belakangan ini dibahas kembali dari titik nol lewat forum tripartit (buruh, pengusaha, dan pemerintah). "Forum ini membicarakan kembali dari mula bila diperlukan revisi," papar Menko Kesra, Aburizal Bakrie. "Bila revisi terjadi, maka itu adalah hasil dari forum tripartit." Forum ini akan membahas detail draf revisi.

Dalam pertemuan dua jam itu, pemerintah hadir dengan "skuad terbaik". Ada presiden, wakil presiden, tiga menko, Menteri Keuangan, Perindustrian, Komunikasi dan Informatika, Kepala Bappenas, Seskab, serta Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Erman Suparno. Ini menggambarkan pentingnya acara itu di mata pemerintah.

Jumlah menteri mengalahkan rombongan pengusaha yang dipimpin Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) M.S. Hidayat. Hanya tampak tiga pengusaha yang menemani: Benny Sutrisno, Hasanuddin Rachman, dan Rachmat Gobel. Rombongan terbesar berasal dari serikat pekerja (SP). Sebanyak 30 SP hadir, seperti SPSI Reformasi, SP BUMN, SP BUMN Bersatu, SP Metal, KSBSI (Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera indonesia), SP BUN, SPSI, dan Sarbumusi.

Setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membuka rapat, sepuluh wakil SP diminta memaparkan pandangan. Suaranya beragam. Ada yang keras menentang revisi, ada yang abu-abu, ada juga yang mendukung. Salah satu pimpinan SBSI, Rekson Silaban, cenderung menolak. Sedangkan SP Metal dan KSPI (Kongres Serikat Pekerja Indonesia) memilih wilayah abu-abu.

"Kalau kami jelas mendukung revisi," ujar Arief Poyuono, Ketua SP BUMN Bersatu. "Undang-undang ini tumpang tindih. Seolah memihak buruh, faktanya tidak." Arief juga mendesak presiden menghapus pungli.

Setelah paparan wakil pekerja, pertemuan sempat break 15 menit. "Pak SBY bilang, ada ‘arus bawah’, saya mesti ke belakang dulu," Arief menirukan cara SBY pamit ke kamar kecil. Break dimanfaatkan peserta untuk makan-makan dan ngobrol.

Lalu giliran pengusaha menyampaikan pandangan. Ketua Kadin M.S. Hidayat minta pemerintah melakukan revisi tahun ini juga. Sebab tahun depan perhatian DPR sudah terpecah ke agenda politik 2009. "Saya juga ingatkan, pekerjaan rumah pemerintah bukan hanya Undang-Undang Ketenagakerjaan, melainkan juga Undang-Undang Investasi dan reformasi pajak," katanya.

Selaku wakil pengusaha, Hidayat meyakinkan kalangan buruh bahwa pengusaha tak mungkin menyengsarakan buruh. "Karena kami butuh mereka. Tapi, marilah mikir, tak hanya yang sudah bekerja, tapi juga mereka yang belum dapat kerja," ujarnya. Ketua API Benny Sutrisno juga memastikan, pengusaha tak melarang buruh berdemo, asal ada pemberitahuan sebelumnya.

Habis wakil pekerja dan pengusaha bicara, giliran SBY menyampaikan pandangan. Menurut Arief, SBY tampak tak berpihak. "Beliau berdiri di antara pengusaha dan buruh. Istilahnya, win win solution," kata Arief. Di satu sisi, SBY melihat kehidupan buruh belum layak. Sisi lain, pengangguran makin banyak sehingga perlu lapangan kerja baru. Dan aturan ketenagakerjaan yang ada membuat pengusaha enggan menyerap tenaga kerja baru.

Untuk mencapai titik temu dua kubu itulah, SBY usul menghidupkan forum tripartit. Sebagian besar wakil pekerja sepakat, ada juga yang masih memberi catatan. Sedangkan wakil pengusaha mendukung. Forum macam ini pula yang digunakan sebagai wadah pencarian keseimbangan kepentingan pekerja dan pengusaha menjelang pengesahan UU Ketenagakerjaan pada 25 Maret 2003.

Tapi, ketika undang-undang disahkan, pekerja dan pengusaha merasa kecewa, karena tak sepenuhnya kesepakatan di tripartit ditindaklanjuti. Maka wajar bila Rekson Silaban dari SBSI kali ini masih wait and see menyikapi tawaran forum tripartit. Dalam kaitan isu revisi yang sedang bergulir, forum tripartit juga bukan hal baru. Pada November 2005, 8 Februari 2006, dan 9 Maret 2006 telah digelar rangkaian pertemuan tripartit yang dipimpin Menakertrans.

Forum bersepakat melakukan revisi. Tapi materi revisinya belum dibicarakan. Tiba-tiba pemerintah mengeluarkan draf revisi yang isinya dinilai tidak mencerminkan janji "keseimbangan kepentingan pekerja dan pengusaha". Sebaliknya, amat menyudutkan pekerja. Khususnya revisi tentang pesangon, pemutusan hubungan kerja (PHK), kontrak kerja, dan outsourcing. Itulah sebabnya, buruh belakangan ramai-ramai menolak revisi. Sebab mereka berpikir, skema revisi yang ada hanya akan mengebiri pekerja.

Ada yang menarik untuk dibandingkan. Wapres Jusuf Kalla pernah membuat ilustrasi tentang model UU Ketenagakerjaan yang ideal. "Jika undang-undang itu tidak begitu disukai pekerja dan tidak begitu disukai pengusaha," katanya saat berdialog dengan pengusaha di Kuala Lumpur, 30 Maret lalu. Karena undang-undang ideal itu harus menampung kepentingan pengusaha dan pekerja secara seimbang.

Kalau itu ukurannya, maka undang-undang yang berlaku kali ini sudah memenuhi syarat ideal. Sebab, sejak disahkan pada 25 Maret 2003, undang-undang ini telah dikeluhkan dua pihak sekaligus: pekerja dan pengusaha. Tapi sasaran keluhannya berbeda. Kaum pekerja keberatan soal aturan kerja kontrak dan kerja borongan (outsourcing). Kalangan pengusaha mengeluhkan aturan PHK, pesangon, dan pengupahan.

Kaum buruh menempuh jalur hukum. Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia mengajukan uji materiil (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK), Agustus 2004. Mereka menyoal ketentuan tentang pekerja anak, pekerja perempuan, magang, hak mogok, hingga PHK.

MK mengabulkan sebagian permohonan pada Oktober 2004. Antara lain, MK membatalkan Pasal 158 yang memberi kewenangan pengusaha memecat pekerja yang melakukan kesalahan berat. Padahal, pembuktian kesalahan itu tanpa melalui putusan pengadilan. Tadinya kesalahan diputuskan sendiri oleh pengusaha dengan bukti yang tak perlu diuji keabsahannya.

Bila buruh menempuh jalur hukum, pengusaha lebih mengintensifkan lobi tingkat atas. Jacob Nuwa Wea, ketika menjabat sebagai Menaker periode 2001-2004, mengaku kerap dilobi Apindo. Mereka usul penurunan besaran pesangon. "Saya waktu itu menolak karena sangat merugikan pekerja," katanya.

Gagal revisi pada zaman Megawati, kalangan pengusaha mendekati Wapres Jusuf Kalla saat baru diangkat, akhir 2004. Menurut Staf Khusus Wapres, Alwi Hammu, asosiasi pengusaha sering mengundang Kalla. "Mereka menganggap UU Ketenagakerjaan lebih kuat membela buruh, tidak ada keseimbangan," tuturnya.

Para pengusaha merasa lebih mendapat tempat "curhat" pada diri Kalla. "Kan, beliau juga sama-sama pengusaha," ujar Alwi. Kalla pun setuju usulan revisi. Undang-undang itu dinilai terlalu memanjakan pekerja. "Masa jika ada pegawai mencuri dan kemudian dikeluarkan, masih harus diberi pesangon? Itu mahal dan tidak adil," kata Alwi. "Revisi itu untuk menyeimbangkan dunia usaha dan buruh."

Pada titik tertentu, dalam perjalanan pembahasan, kepentingan pengusaha dan pekerja bisa bertemu. Pengusaha merasa terbebani oleh aturan pengupahan, pesangon, dan PHK. Akibatnya, mereka sulit menyerap tenaga kerja baru. Sehingga angka pengangguran tetap tinggi. Pada November 2005, tercapai kesepakatan dalam tripartit untuk menyiapkan revisi UU Ketenagakerjaan.

Apindo langsung membentuk tim perunding. Pada 2005, Bappenas juga membuat usulan reformasi kebijakan ketenagakerjaan, menyinggung soal upah minimum, sistem pesangon, rekrutmen pekerja yang fleksibel, dan sebagainya. Proses ini didorong lagi oleh Inpres 3/2006 tanggal 27 Februari 2006 tentang Paket Kebijakan Iklim Investasi. Inpres ini meminta revisi UU Ketenagakerjaan masuk DPR, April 2006. Pada 8 Februari lalu, pemerintah menyerahkan draf revisi pada forum tripartit untuk dibahas.

Saat itulah, isi rancangan yang dinilai merugikan pekerja tadi diketahui publik. Kalangan pekerja terperanjat. Apindo pun menyiapkan konsep pembanding. Organisasi ini memang intensif mengelola materi revisi. Melihat gerakan intensif Apindo dalam merespons revisi, sebagian kalangan mulai mencurigai pengusaha sebagai otak di balik draf revisi yang menyudutkan buruh ini.

"Ada sponsor perusahaan-perusahaan dalam dan luar negeri yang getol menginginkan revisi," kata Jacob Nuwa Wea, yang juga Ketua Umum SPSI. Jacob pun mempersoalkan keterlibatan Bappenas mengurusi revisi undang-undang ini. "Bappenas itu tahu dari mana urusan tenaga kerja? Dia tidak pas," Jacob menambahkan.

Gara-gara draf revisi versi pemerintah yang bikin gelisah, sorotan publik beralih pada siapa perancang draf itu. Ada kepentingan apa? Pokok bahasan revisi sendiri yang sempat disepakati dalam forum tripartit November 2005 mulai dikesampingkan. Jacob, misalnya, sebagai menteri yang kala itu menggolkan undang-undang ini, kukuh menolak revisi.

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dalam siaran persnya, juga menuding ada skenario pengusaha di balik revisi ini. "Terdapat indikasi desakan pengusaha asing, seperti pengusaha Singapura, Jepang, dan Eropa, dan tentu saja pengusaha di dalam negeri," kata Tabrani Abby, Manajer Program Hak-hak Perburuhan YLBHI. Ia mengaitkan kunjungan SBY ke Jepang dan Singapura, beberapa waktu lalu. Disusul kunjungan Kalla ke Eropa.

Saeful Tavip, Ketua Dewan Penasihat Aspek Indonesia, mengaitkan napas draf revisi itu dengan karakter pengusaha yang ia sebut sebagai "pengusaha pedagang". "Pengusaha ini lebih mementingkan bisnisnya, buruh hanya dijadikan sapi perahan," katanya. Saeful membedakannya dengan "pengusaha industriawan" yang lebih peduli pada buruh. Ironisnya, di Indonesia, pengusaha pedagang lebih banyak menyerap tenaga kerja ketimbang pengusaha industriawan.

"Pengusaha pedagang justru didominasi investor asing," ujarnya. Kebanyakan dari Korea dan Cina. Modalnya minim, tapi ingin meraup keuntungan besar. Ia mencontohkan investor asing yang membuka pabrik di sekitar Tangerang dan Bekasi. Buruhnya diupah rendah. Untuk menekan uang pesangon dan PHK, pekerjanya dijadikan buruh kontrak. Usaha mereka umumnya mengerjakan pekerjaan subkontrak dari perusahaan internasional berskala besar. "Setelah kontrak berakhir dan tidak diperpanjang, pengusahanya lari begitu saja menutup pabrik tanpa memberikan pesangon," kata Saeful.

Sekjen Apindo, Djimanto, menyangkal bahwa draf yang dipersoalkan kalangan pekerja itu diotaki pengusaha. "Itu konsep pemerintah," katanya. "Kami sendiri tidak senang kok dengan konsep pemerintah. Makanya, kami menanggapinya dengan mengusulkan tandingan."

Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial Depnakertrans, Muzni Tambusai, kepada pers menjelaskan, draf pemerintah itu hasil pembahasan 12 departemen plus Bappenas, yang dipimpin Depnakertrans. "Draf itu sama sekali belum final. Pemerintah masih membuka kesempatan pada buruh dan pengusaha untuk memberi masukan," kata Muzni.

Yang mengagetkan, materi draf itu justru tidak mencerminkan pernyataan-pernyataan indah presiden dan wapres. Simak pidato presiden saat memberi kuliah umum di Institut Pertanian Bogor, 1 April lalu. "Kita tidak boleh meletakkan buruh sebagai faktor produksi, efisiensi, serta penarik investasi saja. Kita harus pastikan bahwa revisi undang-undang dan regulasi tenaga kerja, buruh sebagai karyawan harus mendapatkan penghasilan yang layak," kata presiden.

"Tidak ada keinginan, buruhnya seperti buruh pabrik sepatu yang murah di Vietnam. Tapi harus sama dengan Cina," presiden menambahkan. Tapi sistem pengupahan dalam draf revisi itu justru menghapus aturan penetapan upah minimum yang harus memperhatikan kebutuhan hidup layak. Dengan revisi itu, YLBHI mencatat, pekerja tak akan bisa hidup sejahtera. Mereka bekerja hanya untuk bertahan hidup.

Prinsip keseimbangan antara kepentingan pengusaha dan pekerja, seperti sering ditekankan Wapres Jusuf Kalla, juga kurang tergambar dalam materi draf itu. Maka bisa dimengerti bila berbagai kalangan di luar buruh, termasuk pimpinan daerah, DPRD, dan DPR yang jadi tempat curhat buruh, juga mendukung penolakan revisi ini.

Ketua Komisi IX DPR, Ribka Tjiptaning, yang bermitra dengan Depnakertrans, pun menolak. "Kalau mau direvisi dengan draf yang ada sekarang, bisa lebih parah, sangat tidak berpihak pada buruh" katanya kepada Bernadetta Febriana dari Gatra. Ribka yakin, anggota DPR lainnya juga akan menolak revisi itu. "Dengan catatan, teman-teman tidak ‘terbeli’ seperti kasus kenaikan harga BBM dan impor beras," tuturnya.

Akibat draf revisi yang kontroversial itu, agenda penyempurnaan UU Ketenagakerjaan berlangsung keruh. Yang berkembang adalah saling tuding. Buruh menuding ada agenda tersembunyi pengusaha. Pemerintah dan pengusaha menuding ada tunggangan politik di balik aksi demo. "Kesan Pak Kalla, mereka yang demo diperalat," kata Staf Khusus Wapres, Alwi Hammu. "Ada yang mau menggoyang presiden supaya tidak sukses selama menjabat," kata Sekjen Apindo, Djimanto.

Tapi perkembangan Jumat siang di Wisma Negara telah mengembalikan bahasan revisi undang-undang ini lewat forum yang lebih jernih dan bisa menyerap kepentingan pekerja dan pengusaha. Pekerja tak merasa terancam bakal diperlakukan sebagai sapi perah. Pengusaha tidak terganggu mengembangankan usaha yang bisa menyerap angkatan kerja baru. Kuncinya, asal jangan ada dusta (lagi) di antara elemen tripartit.

Asrori S. Karni, Astari Yanuarti, Deni Muliya Barus, M. Agung Riyadi, dan Hatim Ilwan
[Laporan Utama, Gatra Edisi 22 Beredar Senin, 10 April 2006]
 

—————

Back


Contact

Survey Buruh Indonesia

Jl.Cikini Raya no 60 ,Gedung Arva Cikini Blok 60 M

62-21-3140946


Survey Buruh Indonesia  didirikan pada 2005. Sejak berdiri, institusi ini telah terlibat dalam beberapa konsultansi, penelitian, dan kajian yang berkaitan dengan isu-isu sosial, kemasyarakatan, pemerintah dan politik. Selain itu, lembaga ini menyelenggarakan berbagai pelatihan indoor dan outdoor (outbond) untuk peningkatan sumberdaya manusia pada organisasi-organisasi swasta dan pemerintah, berkenaan dengan strategi komunikasi, kehumasan, jurnalisme, kepemimpinan, dan pencitraan.

Survey Buruh Indonesia mempunyai jaringan dengan Konfederasi, Federasi dan serikat serikat buruh/pekerja di Indonesia ,Survey Buruh Indonesia juga didukung oleh para ahli statistik yang berpengalaman




Poll

Apakah anda ingin Susilo bambang Yudhono sebagai president lagi? terkait dengan keadaan ekonomi keluarga anda

Ya
77%
104

Tidak
14%
19

Tidak Tahu
9%
12

Total votes: 135